Minggu, 13 Mei 2012

Hadits Ditinjau Dari Segi Kuantitasnya


”Hadits Ditinjau dari Segi Kuantitasnya”
Ulama berbeda pendapat tentang pembagian hadits ditinjau dari segi kuantitasnya ini. Maksud tinjauan dari segi kuantitas di sini adalah dengan menelusuri jumlah para perawi yang menjadi sumber adanya suatu hadits. Para ahli ada yang mengelompokkan menjadi tiga bagian, yakni hadits mutawattir, masyhur, dan ahad. Dan ada juga yang membaginya hanya menjadi dua, yakni hadits mutawattir dan ahad.1
            Pendapat pertama, yang menjadikan hadits masyhur berdiri sendiri, tidak termasuk bagian dari hadits ahad, dianut oleh sebagian ulama ushul, diantaranya adalah Abu Bakar Al-Jassas (305-370H). Sedang ulama golongan kedua diikuti oleh kebanyakan ulama ushul dan ulama kalam. Menurut mereka, hadits masyhur bukan merupakan hadits yang berdiri sendiri, akan tetapi hanya bagian dari hadits Ahad. Mereka membagi hadits menjadi dua bagian, Mutawattir dan Ahad.
A.    Hadits Mutawattir
1.      Definisi
Secara bahasa, mutawatir adalah isim fa’il dari at-tawwaatur yang artinya berurutan. Atau bisa diartikan mutatabi’ yakni yang datang berikutnya atau beriringan yang antara satu dengan yang lain tidak ada jaraknya.2
Menurut istilah adalah “Hadist yang diriwayatkan oleh perawi yang banyak pada setiap tingkatan sanadnya , menurut akal tidak mungkin para perawi tersebut sepakat untuk berdusta dan memalsukan hadist,, dan mereka bersandarkan dalam meriwayatkan pada sesuatu yang dapat diketahui dengan indera seperti pendengarannya dan semacamnya”

2.      Syarat-syarat Hadits Mutawatir
Mengenai syarat-syarat hadits mutawatir ini, yang terlebih dahulu merincinya adalah ulama ushul. Sementara para ahli hadits tidak begitu banyak merinci pembahasan tentang hadits mutawatir dan syarat-syaratnya tersebut. Karena bila telah diketahui statusnya sebagai hadits mutawattir, maka wajib diyakini kebenarannya, diamalkan kandungannya, dan tidak boleh ada keraguan.3
Sedangkan menurut ulama mutaakhirin, ahli ushul, suatu hadits dapat ditetapkan sebagai hadits mutawattir, bila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
·         Diriwayatkan oleh Sejumlah Besar Perawi
Hadits mutawattir harus diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi yang membawa kepada keyakinan bahwa mereka itu tidak mungkin bersepakat untuk berdusta. Mengenai masalah ini, para ulama berbeda pendapat. Ada yang menetapkan jumlah tertentu dan ada yang tidak menentukan jumlah tertentu.
Menurut ulama yang tidak mensyariatkan jumlah tertentu, yang penting dengan jumlah itu, menurut adat, dapat memberikan keyakinan terhadap apa yang diberitakan dan mustahil mereka sepakat untuk berdusta.4 Sedangkan menurut ulama yang menetapkan jumlah tertentu, mereka masih berselisih mengenai jumlah tertentu itu.
Al- Qadhi Al-Baqilani menetapkan bahwa jumlah perawi hadits agar bisa disebut mutawattir tidak boleh berjumlah empat orang. Ia menetapkan sekurang-kurangnya berjumlah 5 orang, dengan mengqiyaskan dengan jumlah nabi yang mendapat gelar Ulul ‘Azmi.
Al-Istikhary menetapkan yang paling baik minimal 10 orang, sebab jumlah 10 itu merupakan awal bilangan banyak.
Ulama lain juga banyak yang menentukan jumlah minimal perawi agar suatu hadits dapat mencapai mutawattir. Ada yang menyebutkan 12 orang, 20 orang, 40 orang, bahkan 70 orang.
Penentuan jumlah-jumlah tertentu sebagaimana telah disebutkan sebetulnya bukan merupakan hal yang prinsip. Sekalipun jumlah perawinya tidak banyak ( tapi melebihi batas minimal yakni 5 orang), asalkan telah memberikan keyakinan bahwa berita yang mereka sampaikan itu bukan kebohongan, sudah dapat dimasukkan sebagai hadits mutawattir.

·         Adanya Keseimbangan Antar Perawi Pada Setiap Tingkatannya.
Jumlah Perawi hadits mutawattir, antara thobaqot dengan thobaqot lainnya harus seimbang. Dengan demikian, bila suatu hadits diriwayatkan oleh 10 sahabat umpamanya, kemudian diterima oleh 5 tabi’in, dan seterusnya hanya diriwayatkan oleh 2 orang tabi’it tabi’in, tidak dapat digolongkan sebagai hadits mutawattir, sebab jumlah rawi-rawinya tidak seimbang antara thabaqoh pertama, kedua dan ketiga.
Akan tetapi, ada juga yang berpendapat, bahwa keseimbangan jumlah perawi pada tiap thobaqot tidaklah terlalu penting. Sebab yang diinginkan dengan banyaknya perawi adalah terhindarnya kemungkinan berbohong.5

·         Berdasarkan Tanggapan Panca Indra
Berita yang disampaikan oleh perawinya tsb harus berdasarkan panca indera. Artinya bahwa berita mereka sampaikan itu harus benar-benar hasil pendengaran atau penglihatannya sendiri. Oleh karna itu, bila berita itu merupakan hasil renungan, pemikiran, atau rangkuman dari suatu peristiwa lain ataupun hasil istinbat dari dalil lain, maka tidak dapat dikatakan hadits mutawattir.6

3.      Pembagian Hadits Mutawattir
Menurut sebagian ulama, hadits mutawattir itu terbagi menjadi dua, yakni mutawattir lafzhi dan mutawattir ma’nawi.7 Namun ada juga yang membaginya menjadi tiga, yakni ditambah dengan hadits mutawattir ‘amali.
·         Mutawattir Lafzhi
Hadits mutawattir lafzhi adalah hadits yang diriwayatkan oleh orang banyak yang susunan redaksi dan ma’nanya sesuai benar antara riwayat yang satu dengan yang lainnya.
Contoh hadits mutawatir lafdzi adalah:
 فليتبوأ مقعده من النار متعمدا من كذب علي
Barang siapa yang sengaja berdusta atas namaku, maka tempat tinggalnya adalah neraka”.
Hadis ini diriwayatkan oleh lebih dari enam puluh dua sahabat dengan teks yang sama, bahkan menurut As-Syuyuti diriwayatkan lebih dari dua ratus sahabat.

·         Mutawattir Ma’nawi
Hadits Mutawattir ma’nawi adalah Hadits yang maknanya mutawatir, tetapi lafaznya tidak.9 Dalam penjelasan lain, Mutawatir ma’nawi adalah hadits yang rawi-rawinya berlainan dalam menyusun redaksi pemberitaanya, tetapi berita yang berlainan tersebut terdapat pesesuaian pada prinsipnya.
Contoh hadits ini adalah:
بياض ابطيه لله عليه وسلم ثم رفع يديه ورايت ا النبي صلى ا وقال ابو موسى الاشعري دع
“Abu musa al-as’ari berkata : Nabi Muhammad saw berdoa, kemudian beliau mengangkat kedua tangannya hingga aku melihat putih-putih kedua ketiaknya”
Hadits yang menerangkan kesunnahan mengangkat tangan ketika berdoa ini berjumlah sekitar seratus hadits dengan redaksi yang berbeda-beda, tetapi mempunyai titik persamaan, yaitu keadaan Nabi Muhammad mengangkat tangan saat berdo’a.

·         Mutawattir ‘Amali
Hadits Mutawattir ‘amali adalah Sesuatu yang diketahui dengan mudah, bahwa dia termasuk urusan agama dan telah mutawattir antara umat Islam, bahwa Nabi Muhammad SAW mengerjakannya, menyuruhnya, atau selain dari itu.

Macam hadits mutawatir ‘amali ini banyak jumlahnya, seperti hadits yang menerangkan waktu shalat, raka’at shalat, shalat jenazah, shalat ‘id, tata cara shalat, pelaksanaan haji, kadar zakat harta, dll.

4.      Nilai dan Fungsi Hadits Mutawatir
Hadits mutawatir itu memberikan faedah ilmu dhoruri, yakni keharusan untuk menerimanya dan mengamalkan sesuai dengan yang diberitakan oleh hadits mutawatir tersebut hingga membawa pada keyakinan qoth’i (pasti).
Ibnu Taymiyah mengatakan bahwa suatu hadits dianggap mutawatir oleh sebagian golongan membawa keyakinan pada golongan tersebut, tetapi tidak bagi golongan lain yang tidak menganggap bahwa hadits tersebut mutawatir. Barang siapa telah meyakini ke-mutawatir-an hadits diwajibkan untuk mengamalkannya sesuai dengan tuntutannya. Sebaliknya bagi mereka yang belum mengetahui dan meyakini kemutawatirannya, wajib baginya mempercayai dan mengamalkan hadits mutawatir yang disepakati oleh para ulama’ sebagaimana kewajiban mereka mengikuti ketentuan-ketentuan hukum yang disepakati oleh ahli ilmu.
Para perawi hadits mutawatir tidak perlu dipersoalkan, baik mengenai keadilan maupun kedhobitannya, sebab dengan adanya persyaratan yang begitu ketat, sebagaimana telah ditetapkan diatas, menjadikan mereka tidak mungkin sepakat melakukan dusta.
B.     Hadits Ahad
1.      Definisi
Secara bahasa kata ahad atau wahid jika dilihat dari segi bahasa berarti satu. Maka khabar ahad atau khabar wahid berarti suatu berita yang disampaikan oleh satu orang.10
Sedangkan menurut para ahli hadis ialah:
“Yakni hadis yang tidak mencapai derajat mutawatir”
Adapun yang dimaksud hadits ahad menurut istilah, banyak didefinisikan oleh para ulama’, antara lain:
Hadits ahad adalah khobar yang jumlah perowinya tidak sebanyak jumlah perowi hadits mutawatir, baik perowi itu satu, dua, tiga, empat, lima dan seterusnya yang memberikan pengertian bahwa jumlah perawi tersebut tidak mencapai jumlah perowi hadits mutawatir.
Ada juga ulama’ yang mendefinisikan hadits ahad secara singkat yaitu: hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat hadits mutawatir.11 hadits selain mutawatir,12 atau hadits yang sanadnya sah dan bersambung hingga Rasul, tetapi kandungannya memberikan pengertian zhanni dan tidak sampai kepada qath’i dan yaqin.13
Muhammad Abu Zarhah mendefinisikan hadis ahad yaitu tiap-tiap khobar yang yang diriwayatkan oleh satu,dua orang atau lebih yang diterima oleh Rosulullah dan tidak memenuhi persyaratan hadits mutawatir.14
Abdul Wahab Khallaf mendefinisikan hadits ahad adalah hadits yang diriwayatkan oleh satu, dua, atau sejumlah orang tetapi jumlahnya tersebut tidak mencapai jumlah perawi hadits mutawatir. Keadaan perawi seperti ini terjadi sejak perawi pertama sampai perawi terakhir.15
 Pembagian Hadits Ahad
Ulama Ahli secara garis besarnya membagi hadits Ahad menjadi dua, yaitu masyhur dan ghair masyhur. Ghair masyhur terbagi menjadi dua, yaitu ‘aziz dan gharib.
a.       Hadits Masyhur
·         Definisi
Menurut bahasa adalah “Nampak atau terkenal”. Sedangkan menurut istilah hadis masyhur adalah ; “Hadis yang diriwayatkan oleh 3 (tiga) perawi atau lebih pada setiap thabaqat dan belum mencapai derajat hadis mutawatir”.
Menurut ulama ushul adalah “Hadits yang diriwayatkan dari sahabat, tetapi bilangannya tidak sampai ukuran mutawatir, kemudian baru mutawatir setelah sahabat dan demikian pula setelah mereka.”16

Hadits ini dinamakan masyhur karena telah tersebar luas dikalangan masyarakat. Ada ulama’ yang memasukkan seluruh hadits yang popular dalam masyarakat, sekali pun tidak mempunyai sanad, baik berstatus shohih atau dhi’if ke dalam hadits masyhur.
Ulama’ Hanafiah mengatakan bahwa hadits masyhur menghasilkan ketenangan hati, kedekatan pada keyakinan dan kewajiban untuk diamalkan, tetapi bagi yang menolaknya tidak dikatakan kafir.

Hadis masyhur ini ada kalanya berstatus hasan, sahih,dan dhaif.17 Sedangkan yang dimaksud hadis masyhur shahih, adalah hadis masyhur yang telah memenuhi ketentuan-ketentuan hadis shahih baik sanad maupun matannya.
Contohnya seperti hadits Ibnu ‘Umar:
“Bagi siapa yang hendak pergi melaksanakan shalat jum’at, hendaknya ia mandi”
Sedangkan yang dimaksud dengan hadits masyhur hasan adalah hadits masyhur yang telah memenuhi ketentuan-ketentuan hadits hasan, baik mengenai sanad maupun matannya, seperti sabda Rasulullah SAW:
“Jangan melakukan perbuatan yang berbahaya”
Adapun yang dimaksud dengan hadits masyhur dha’if adalah hadits masyhur yang tidak mempunyai syarat-syarat hadits sahih dan hasan, baik pada sanad maupun matannya, seperti hadits:
“Menuntut ilmu wajib bagi muslim laki-laki dan perempuan”

·         Macam-Macam Hadits Masyhur
Istilah masyhur disini bukan untuk memberikan sifat-sifat hadis menurut ketetapan hadis diatas. Namun, kata masyhur disini lebih menekankan pada ketenaran suatu hadits dikalangan ilmuan tertentu atau masyarakat ramai.
Sehingga dengan demikian ada suatu hadits yang rawi-rawinya kurang dari tiga orang, atau bahkan ada hadits yang malah tidak bersanad sama sekali. Namun, tetap bisa dikatakan masyhur karena telah memenuhi syarat:
a) Jumlah rawi tiga orang atau lebih
b) Telah tersebar luas dikalangan masyarakat

Melihat dari ketentuan diatas maka hadis masyhur dikelompokkan menjadi:
1.      Masyhur diantara para ahli hadis secara khusus, misalnya hadis:
وذكوان ان رسو ل الله صاى الله عليه وسلم قنت شهرا بعد الركوع يدعو على رعل
“Bahwasannya Rasulullah SAW membaca do’a qunut selama satu bulan penuh setelah ruku’ untuk memdo’akan kaum Ri’il dan Zakwan”
2.      Masyhur dikalangan ahli hadis dan ulama serta orang awam, misalnya;
المسلم من المسلم المسلمون من لسا نه ويده
 “Seorang muslim adalah orang yang kaum muslimin selamat dari lisan dan tangannya”.


3.      Masyhur diantara para ahli fiqh, misalnya;
ابغض الحلا ل عند الله الطلاق
“Perbuatan halal yang paling dibenci Allah adalah thalaq”.
4.      Masyhur diantara ulama ushul fiqh, misalnya;
رفع عن امتى الخطا والنسيا وما استكر هوا عليه
 “Telah dibebaskan dari umatku kesalahan kesalahan dan kelupaan dan apa-apa yang dipaksa…..”.
5.      Masyhur dikalangan masyarakat umum, misalnya;
من الشيطان العجلة
“Tergesa-gesa adalah sebagian dari perbuatan syaitan”
6.      Dan masih banyak lagi hadits-hadits yang kemasyhurannya hanya di kalangan tertentu, sesuai dengan disiplin ilmu dan bidangnya masing-masing.

b.      Hadits Ghairu Masyhur
·         Hadits ‘Aziz
‘Aziz bisa berasal dari ‘Azza- ya’izzu yang berarti sedikit atau jarang adanya, dan bisa berasal dari ‘azza- ya’azzu berarti kuat.18
Sedangkan ‘aziz menurut istilah, antara lain di definisikan sebagai berikut:
“Hadits yang perawinya tidak kurang dari dua orang dalam semua tabaqat sanad”19
Penjelasan lebih lanjut tentang definisi hadis aziz ini, Mahmud at-Thahan menjelaskan bahwa sekalipun dalam sebagian thabaqat terdapat perawi tiga atau lebih, hal itu tidak menjadikan masalah asalkan dari setiap thabaqat terdapat satu thabaqat yang jumlah perawinya hanya dua orang.
Ada juga yang mengatakan bahwa hadits ‘aziz adalah hadits yang diriwayatkan oleh dua atau tiga orang perawi.

Diantara contoh hadits ‘aziz adalah:
Rasulullah SAW bersabda “Tidaklah beriman seseorang dintara kamu hingga aku lebih dicintai daripada dirinya, orang tuanya, anak-anaknya, dan semua umat manusia”.
Hadits ‘aziz yang shahih, hasan, dan dhaif tergantung kepada terpenuhi atau tidaknya ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan hadits shahih, hasan, dan dhaif.

·         Hadits Gharib
Gharib menurut bahasa berarti al-munfarid (menyendiri) atau al-ba’id ‘an aqarabihi (jauh dari kerabatnya).20 Ulama ahli hadits mendefinisikan hadits gharib sebagai berikut:
“Hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang menyendiri dalam meriwayatkannya, baik yang menyendiri itu imamnya maupun selainnya” 21
Ibnu Hajar mendefinisikan hadits gharib adalah:
“Hadits yang dalam sanadnya terdapat seorang yang menyendiri dalam meriwayatkannya, di mana saja penyendirian dalam sanad itu terjadi.”22
Ada juga yang mengatakan bahwa hadits gharib adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang menyendiri dalam meriwayatkannya, tanpa ada orang lain yang meriwayatkannya.23
Dilihat dari bentuk penyendirian perawi, maka hadits gharib ini digolongkan menjadi dua, yaitu gharib mutlaq dan gharib nisbi.

Dikatakan sebagai gharib mutlaq apabila seorang perawi tersebut menyendiri dalam meriwayatkan suatu hadits, meski dia berada pada thabaqah yang pertama.
Contoh dari hadits ini adalah:
االو لا لحمة كلحمة النسب لا يباع ولا يوهب
“Kekerabatan dengan jalan memerdekakan sama dengan kekerabatan dengan nasab tidak boleh dijual dan tidak boleh dihibahkan”.24

Hadis tersebut diterima dari Nabi oleh Ibnu Umar, dan dari Ibnu Umar hanya Abdullah ibn Dinar saja yang meriwayatkannya, sedang Abdullah ibn Dinar adalah seorang tabi’in yang hafidz, kuat ingatannya dan dapat dipercaya.

Sedangkan dikatakan sebagai gharib nisbi apabila penyendirian itu mengenai sifat-sifat atau keadaan tertentu seorang rowi, maka hadis yang diriwayatkannya disebut dengan hadis gharib nisbi. Penyendirian rawi seperti ini, bisa terjadi berkaitan dengan keadilan dan kedhabitan perawi, atau mengenai tempat tinggal atau kota tertentu.25
Contoh dari hadits ini adalah:
عليه وسلم أن تقرأ بفا تحة الكتاب وما تيسر منه الله صلى الله أمرنا رسول
“Rasulullah memerintahkan kepada kami agar kami membaca surat al-fatihah dan surat yang mudah dari al-Qur’an”26
Hadits gharib dinamakan juga hadits fard, baik menurut bahasa maupun istilah. Namun dari segi penggunaannya, kedua jenis hadits tersebut dapat dibedakan. Pada umumnya istilah fard diterapkan untuk gharib mutlak, sedang gharib diterapkan untuk gharib nisbi.27 Dari segi kata kerjanya, para muhaditsin tidak membedakan.
Hadits gharib ini ada yang shahih, hasan, dan dhaif tergantung pada kesesuaiannya dengan kriteria shahih, hasan, atau dhaifnya.

3. Nilai dan Fungsi Hadits Ahad
Jumhur Ulama sepakat bahwa beramal dengan hadits ahad yang telah memenuhi ketentuan maqbul hukumnya wajib. Abu Hanifah, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad memakai hadits ahad bila syarat-syarat periwayatan yang shahih terpenuhi.28 Hanya saja Abu Hanifah menetapkan syarat tsiqqah dan adil bagi perawinya, serta amaliahnya tidak menyalahi hadits yang diriwayatkan.
Oleh karna itu, hadits yang menerangkan proses pencucian sesuatu yang terkena jilatan anjing dengan tujuh kali basuhan yang salah satunya dicampur dengan debu yang suci tidak digunakan, sebab perawinya yakni Abu Hurairoh tidak mengamalkannya. Sedang Imam Malik menetapkan persyaratan bahwa perawi hadits ahad tidak menyalahi amalan ahli madinah.
Sedangkan golongan Qadiriyah, Rafidhah, dan sebagian Ahli Zhahir menetapkan bahwa beramal dengan dasar hadits ahad hukumnya tidak wajib. Al-Jubai dari golongan Mu’tazilah menetapkan tidak wajib beramal kecuali berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh dua orang yang diterima dari dua orang. Sementara yang lain mengatakan tidak wajib beramal kecuali hadits yang diriwayatkan oleh empat orang dan diriwayatkan oleh empat orang pula.29
Untuk menjawab golongan yang tidak memakai hadits ahad sebagai dasar beramal, Ibnu Qayim mengatakan: “Ada tiga segi keterkaitan sunnah dengan Qur’an. Pertama, kesesuaian terhadap ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Al-Qur’an. Kedua, menjelaskan maksud al-Qur’an. Ketiga, menetapkan hukum yang tidak terdapat dalam al-Qur’an.
Alternatif ketiga ini merupakan ketentuan yang ditetapkan oleh Rasul yang wajib ditaati.30  Lebih dari itu, ada yang menetapkan bahwa dasar beramal hadits ahad adalah al-Qur’an, Sunnah, dan ijma.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar