”Hadits
Ditinjau dari Segi Kuantitasnya”
Ulama berbeda pendapat tentang pembagian
hadits ditinjau dari segi kuantitasnya ini. Maksud tinjauan dari segi kuantitas
di sini adalah dengan menelusuri jumlah para perawi yang menjadi sumber adanya
suatu hadits. Para ahli ada yang mengelompokkan menjadi tiga bagian, yakni
hadits mutawattir, masyhur, dan ahad. Dan ada juga yang membaginya
hanya menjadi dua, yakni hadits mutawattir
dan ahad.1
Pendapat pertama, yang menjadikan
hadits masyhur berdiri sendiri, tidak
termasuk bagian dari hadits ahad, dianut oleh sebagian ulama ushul, diantaranya
adalah Abu Bakar Al-Jassas (305-370H). Sedang ulama golongan kedua diikuti oleh
kebanyakan ulama ushul dan ulama kalam. Menurut mereka, hadits masyhur bukan merupakan hadits yang
berdiri sendiri, akan tetapi hanya bagian dari hadits Ahad. Mereka membagi hadits menjadi dua bagian, Mutawattir dan Ahad.
A.
Hadits
Mutawattir
1. Definisi
Secara bahasa, mutawatir adalah
isim fa’il dari at-tawwaatur yang
artinya berurutan. Atau bisa diartikan mutatabi’ yakni yang datang berikutnya
atau beriringan yang antara satu dengan yang lain tidak ada jaraknya.2
Menurut istilah adalah “Hadist yang diriwayatkan oleh perawi yang banyak pada setiap tingkatan
sanadnya , menurut akal tidak mungkin para perawi tersebut sepakat untuk
berdusta dan memalsukan hadist,, dan mereka bersandarkan dalam meriwayatkan
pada sesuatu yang dapat diketahui dengan indera seperti pendengarannya dan
semacamnya”
2. Syarat-syarat
Hadits Mutawatir
Mengenai syarat-syarat hadits mutawatir
ini, yang terlebih dahulu merincinya adalah ulama ushul. Sementara para ahli
hadits tidak begitu banyak merinci pembahasan tentang hadits mutawatir dan
syarat-syaratnya tersebut. Karena bila telah diketahui statusnya sebagai hadits
mutawattir, maka wajib diyakini kebenarannya, diamalkan kandungannya, dan tidak
boleh ada keraguan.3
Sedangkan
menurut ulama mutaakhirin, ahli ushul, suatu hadits dapat ditetapkan sebagai
hadits mutawattir, bila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
·
Diriwayatkan
oleh Sejumlah Besar Perawi
Hadits mutawattir harus diriwayatkan oleh sejumlah
besar perawi yang membawa kepada keyakinan bahwa mereka itu tidak mungkin
bersepakat untuk berdusta. Mengenai masalah ini, para ulama berbeda pendapat.
Ada yang menetapkan jumlah tertentu dan ada yang tidak menentukan jumlah
tertentu.
Menurut ulama yang tidak mensyariatkan jumlah
tertentu, yang penting dengan jumlah itu, menurut adat, dapat memberikan
keyakinan terhadap apa yang diberitakan dan mustahil mereka sepakat untuk
berdusta.4 Sedangkan menurut ulama yang menetapkan jumlah tertentu,
mereka masih berselisih mengenai jumlah tertentu itu.
Al- Qadhi Al-Baqilani menetapkan bahwa jumlah perawi
hadits agar bisa disebut mutawattir tidak boleh berjumlah empat orang. Ia menetapkan
sekurang-kurangnya berjumlah 5 orang, dengan mengqiyaskan dengan jumlah nabi
yang mendapat gelar Ulul ‘Azmi.
Al-Istikhary menetapkan yang paling baik minimal 10
orang, sebab jumlah 10 itu merupakan awal bilangan banyak.
Ulama lain juga banyak yang menentukan jumlah
minimal perawi agar suatu hadits dapat mencapai mutawattir. Ada yang
menyebutkan 12 orang, 20 orang, 40 orang, bahkan 70 orang.
Penentuan jumlah-jumlah tertentu sebagaimana telah
disebutkan sebetulnya bukan merupakan hal yang prinsip. Sekalipun jumlah
perawinya tidak banyak ( tapi melebihi batas minimal yakni 5 orang), asalkan
telah memberikan keyakinan bahwa berita yang mereka sampaikan itu bukan
kebohongan, sudah dapat dimasukkan sebagai hadits mutawattir.
·
Adanya
Keseimbangan Antar Perawi Pada Setiap Tingkatannya.
Jumlah Perawi hadits
mutawattir, antara thobaqot dengan thobaqot lainnya harus seimbang. Dengan
demikian, bila suatu hadits diriwayatkan oleh 10 sahabat umpamanya, kemudian
diterima oleh 5 tabi’in, dan seterusnya hanya diriwayatkan oleh 2 orang tabi’it
tabi’in, tidak dapat digolongkan sebagai hadits mutawattir, sebab jumlah
rawi-rawinya tidak seimbang antara thabaqoh pertama, kedua dan ketiga.
Akan tetapi, ada juga
yang berpendapat, bahwa keseimbangan jumlah perawi pada tiap thobaqot tidaklah
terlalu penting. Sebab yang diinginkan dengan banyaknya perawi adalah
terhindarnya kemungkinan berbohong.5
·
Berdasarkan
Tanggapan Panca Indra
Berita yang disampaikan
oleh perawinya tsb harus berdasarkan panca indera. Artinya bahwa berita mereka
sampaikan itu harus benar-benar hasil pendengaran atau penglihatannya sendiri.
Oleh karna itu, bila berita itu merupakan hasil renungan, pemikiran, atau
rangkuman dari suatu peristiwa lain ataupun hasil istinbat dari dalil lain,
maka tidak dapat dikatakan hadits mutawattir.6
3. Pembagian
Hadits Mutawattir
Menurut
sebagian ulama, hadits mutawattir itu terbagi menjadi dua, yakni mutawattir lafzhi dan mutawattir ma’nawi.7 Namun
ada juga yang membaginya menjadi tiga, yakni ditambah dengan hadits mutawattir
‘amali.
·
Mutawattir
Lafzhi
Hadits mutawattir lafzhi
adalah hadits yang diriwayatkan oleh orang banyak yang susunan redaksi dan
ma’nanya sesuai benar antara riwayat yang satu dengan yang lainnya.
Contoh hadits mutawatir
lafdzi adalah:
فليتبوأ مقعده من النار متعمدا من كذب علي
”Barang siapa yang
sengaja berdusta atas namaku, maka tempat tinggalnya adalah neraka”.
Hadis ini diriwayatkan
oleh lebih dari enam puluh dua sahabat dengan teks yang sama, bahkan menurut
As-Syuyuti diriwayatkan lebih dari dua ratus sahabat.
·
Mutawattir
Ma’nawi
Hadits Mutawattir ma’nawi
adalah Hadits yang maknanya mutawatir, tetapi lafaznya tidak.9 Dalam
penjelasan lain, Mutawatir ma’nawi adalah hadits yang rawi-rawinya berlainan
dalam menyusun redaksi pemberitaanya, tetapi berita yang berlainan tersebut
terdapat pesesuaian pada prinsipnya.
Contoh hadits ini
adalah:
بياض ابطيه لله عليه وسلم ثم رفع يديه
ورايت ا النبي صلى ا وقال ابو موسى الاشعري دع
“Abu
musa al-as’ari berkata : Nabi Muhammad saw berdoa, kemudian beliau mengangkat
kedua tangannya hingga aku melihat putih-putih kedua ketiaknya”
Hadits yang menerangkan
kesunnahan mengangkat tangan ketika berdoa ini berjumlah sekitar seratus hadits
dengan redaksi yang berbeda-beda, tetapi mempunyai titik persamaan, yaitu
keadaan Nabi Muhammad mengangkat tangan saat berdo’a.
·
Mutawattir ‘Amali
Hadits Mutawattir
‘amali adalah Sesuatu yang diketahui dengan mudah, bahwa dia termasuk urusan
agama dan telah mutawattir antara umat Islam, bahwa Nabi Muhammad SAW
mengerjakannya, menyuruhnya, atau selain dari itu.
Macam hadits mutawatir
‘amali ini banyak jumlahnya, seperti hadits yang menerangkan waktu shalat,
raka’at shalat, shalat jenazah, shalat ‘id, tata cara shalat, pelaksanaan haji,
kadar zakat harta, dll.
4. Nilai
dan Fungsi Hadits Mutawatir
Hadits
mutawatir itu memberikan faedah ilmu
dhoruri, yakni keharusan untuk menerimanya dan mengamalkan sesuai dengan
yang diberitakan oleh hadits mutawatir tersebut hingga membawa pada keyakinan qoth’i (pasti).
Ibnu
Taymiyah mengatakan bahwa suatu hadits dianggap mutawatir oleh sebagian
golongan membawa keyakinan pada golongan tersebut, tetapi tidak bagi golongan
lain yang tidak menganggap bahwa hadits tersebut mutawatir. Barang siapa telah
meyakini ke-mutawatir-an hadits diwajibkan untuk mengamalkannya sesuai dengan tuntutannya.
Sebaliknya bagi mereka yang belum mengetahui dan meyakini kemutawatirannya,
wajib baginya mempercayai dan mengamalkan hadits mutawatir yang disepakati oleh
para ulama’ sebagaimana kewajiban mereka mengikuti ketentuan-ketentuan hukum
yang disepakati oleh ahli ilmu.
Para
perawi hadits mutawatir tidak perlu dipersoalkan, baik mengenai keadilan maupun
kedhobitannya, sebab dengan adanya persyaratan yang begitu ketat, sebagaimana
telah ditetapkan diatas, menjadikan mereka tidak mungkin sepakat melakukan
dusta.
B.
Hadits
Ahad
1. Definisi
Secara bahasa kata ahad
atau wahid jika dilihat dari segi bahasa berarti satu. Maka khabar ahad atau
khabar wahid berarti suatu berita yang disampaikan oleh satu orang.10
Sedangkan menurut para
ahli hadis ialah:
“Yakni
hadis yang tidak mencapai derajat mutawatir”
Adapun yang dimaksud
hadits ahad menurut istilah, banyak didefinisikan oleh para ulama’, antara
lain:
Hadits
ahad adalah khobar yang jumlah perowinya tidak sebanyak jumlah perowi hadits
mutawatir, baik perowi itu satu, dua, tiga, empat, lima dan seterusnya yang
memberikan pengertian bahwa jumlah perawi tersebut tidak mencapai jumlah perowi
hadits mutawatir.
Ada juga ulama’ yang
mendefinisikan hadits ahad secara singkat yaitu: hadits yang tidak memenuhi
syarat-syarat hadits mutawatir.11 hadits selain mutawatir,12
atau hadits yang sanadnya sah dan bersambung hingga Rasul, tetapi kandungannya
memberikan pengertian zhanni dan
tidak sampai kepada qath’i dan yaqin.13
Muhammad
Abu Zarhah mendefinisikan hadis ahad yaitu tiap-tiap khobar yang yang
diriwayatkan oleh satu,dua orang atau lebih yang diterima oleh Rosulullah dan
tidak memenuhi persyaratan hadits mutawatir.14
Abdul Wahab Khallaf
mendefinisikan hadits ahad adalah hadits yang diriwayatkan oleh satu, dua, atau
sejumlah orang tetapi jumlahnya tersebut tidak mencapai jumlah perawi hadits
mutawatir. Keadaan perawi seperti ini terjadi sejak perawi pertama sampai perawi
terakhir.15
Pembagian
Hadits Ahad
Ulama
Ahli secara garis besarnya membagi hadits Ahad menjadi dua, yaitu masyhur dan ghair masyhur. Ghair
masyhur terbagi menjadi dua, yaitu ‘aziz
dan gharib.
a. Hadits
Masyhur
·
Definisi
Menurut
bahasa adalah “Nampak atau terkenal”. Sedangkan menurut istilah hadis masyhur
adalah ; “Hadis yang diriwayatkan oleh 3
(tiga) perawi atau lebih pada setiap thabaqat dan belum mencapai derajat hadis
mutawatir”.
Menurut ulama ushul
adalah “Hadits yang diriwayatkan dari
sahabat, tetapi bilangannya tidak sampai ukuran mutawatir, kemudian baru
mutawatir setelah sahabat dan demikian pula setelah mereka.”16
Hadits
ini dinamakan masyhur karena telah tersebar luas dikalangan masyarakat. Ada
ulama’ yang memasukkan seluruh hadits yang popular dalam masyarakat, sekali pun
tidak mempunyai sanad, baik berstatus shohih atau dhi’if ke dalam hadits
masyhur.
Ulama’ Hanafiah
mengatakan bahwa hadits masyhur menghasilkan ketenangan hati, kedekatan pada
keyakinan dan kewajiban untuk diamalkan, tetapi bagi yang menolaknya tidak
dikatakan kafir.
Hadis masyhur ini ada
kalanya berstatus hasan, sahih,dan dhaif.17 Sedangkan yang dimaksud
hadis masyhur shahih, adalah hadis masyhur yang telah memenuhi ketentuan-ketentuan
hadis shahih baik sanad maupun matannya.
Contohnya seperti
hadits Ibnu ‘Umar:
“Bagi
siapa yang hendak pergi melaksanakan shalat jum’at, hendaknya ia mandi”
Sedangkan yang dimaksud
dengan hadits masyhur hasan adalah hadits masyhur yang telah memenuhi
ketentuan-ketentuan hadits hasan, baik mengenai sanad maupun matannya, seperti
sabda Rasulullah SAW:
“Jangan
melakukan perbuatan yang berbahaya”
Adapun yang dimaksud
dengan hadits masyhur dha’if adalah hadits masyhur yang tidak mempunyai
syarat-syarat hadits sahih dan hasan, baik pada sanad maupun matannya, seperti
hadits:
“Menuntut
ilmu wajib bagi muslim laki-laki dan perempuan”
·
Macam-Macam
Hadits Masyhur
Istilah
masyhur disini bukan untuk memberikan sifat-sifat hadis menurut ketetapan hadis
diatas. Namun, kata masyhur disini lebih menekankan pada ketenaran suatu hadits
dikalangan ilmuan tertentu atau masyarakat ramai.
Sehingga dengan
demikian ada suatu hadits yang rawi-rawinya kurang dari tiga orang, atau bahkan
ada hadits yang malah tidak bersanad sama sekali. Namun, tetap bisa dikatakan
masyhur karena telah memenuhi syarat:
a) Jumlah rawi tiga
orang atau lebih
b) Telah tersebar luas
dikalangan masyarakat
Melihat dari ketentuan
diatas maka hadis masyhur dikelompokkan menjadi:
1. Masyhur
diantara para ahli hadis secara khusus, misalnya hadis:
وذكوان ان رسو ل الله صاى الله عليه
وسلم قنت شهرا بعد الركوع يدعو على رعل
“Bahwasannya Rasulullah SAW membaca
do’a qunut selama satu bulan penuh setelah ruku’ untuk memdo’akan kaum Ri’il
dan Zakwan”
2.
Masyhur
dikalangan ahli hadis dan ulama serta orang awam, misalnya;
المسلم من المسلم المسلمون من لسا نه
ويده
“Seorang muslim adalah orang yang kaum
muslimin selamat dari lisan dan tangannya”.
3. Masyhur diantara para ahli fiqh,
misalnya;
ابغض الحلا ل عند الله الطلاق
“Perbuatan
halal yang paling dibenci Allah adalah thalaq”.
4. Masyhur diantara ulama ushul fiqh,
misalnya;
رفع عن امتى الخطا والنسيا وما استكر
هوا عليه
“Telah dibebaskan
dari umatku kesalahan kesalahan dan kelupaan dan apa-apa yang dipaksa…..”.
5. Masyhur dikalangan masyarakat umum,
misalnya;
من الشيطان العجلة
“Tergesa-gesa
adalah sebagian dari perbuatan syaitan”
6. Dan
masih banyak lagi hadits-hadits yang kemasyhurannya hanya di kalangan tertentu,
sesuai dengan disiplin ilmu dan bidangnya masing-masing.
b.
Hadits Ghairu
Masyhur
·
Hadits ‘Aziz
‘Aziz bisa berasal dari ‘Azza- ya’izzu yang berarti sedikit atau jarang adanya, dan bisa
berasal dari ‘azza- ya’azzu berarti
kuat.18
Sedangkan
‘aziz menurut istilah, antara lain di definisikan sebagai berikut:
“Hadits yang perawinya tidak kurang
dari dua orang dalam semua tabaqat sanad”19
Penjelasan
lebih lanjut tentang definisi hadis aziz ini, Mahmud at-Thahan menjelaskan bahwa
sekalipun dalam sebagian thabaqat terdapat perawi tiga atau lebih, hal itu
tidak menjadikan masalah asalkan dari setiap thabaqat terdapat satu thabaqat
yang jumlah perawinya hanya dua orang.
Ada
juga yang mengatakan bahwa hadits ‘aziz adalah hadits yang diriwayatkan oleh
dua atau tiga orang perawi.
Diantara
contoh hadits ‘aziz adalah:
Rasulullah
SAW bersabda “Tidaklah beriman seseorang
dintara kamu hingga aku lebih dicintai daripada dirinya, orang tuanya,
anak-anaknya, dan semua umat manusia”.
Hadits
‘aziz yang shahih, hasan, dan dhaif tergantung kepada terpenuhi atau tidaknya
ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan hadits shahih, hasan, dan dhaif.
·
Hadits Gharib
Gharib menurut bahasa berarti al-munfarid (menyendiri) atau al-ba’id
‘an aqarabihi (jauh dari kerabatnya).20 Ulama ahli hadits
mendefinisikan hadits gharib sebagai berikut:
“Hadits yang diriwayatkan oleh
seorang perawi yang menyendiri dalam meriwayatkannya, baik yang menyendiri itu
imamnya maupun selainnya” 21
Ibnu
Hajar mendefinisikan hadits gharib adalah:
“Hadits yang dalam sanadnya
terdapat seorang yang menyendiri dalam meriwayatkannya, di mana saja
penyendirian dalam sanad itu terjadi.”22
Ada
juga yang mengatakan bahwa hadits gharib adalah hadits yang diriwayatkan oleh
seorang perawi yang menyendiri dalam meriwayatkannya, tanpa ada orang lain yang
meriwayatkannya.23
Dilihat
dari bentuk penyendirian perawi, maka hadits gharib ini digolongkan menjadi
dua, yaitu gharib mutlaq dan gharib nisbi.
Dikatakan sebagai gharib mutlaq apabila seorang perawi tersebut menyendiri dalam
meriwayatkan suatu hadits, meski dia berada pada thabaqah yang pertama.
Contoh
dari hadits ini adalah:
االو لا لحمة كلحمة النسب لا يباع ولا
يوهب
“Kekerabatan dengan jalan
memerdekakan sama dengan kekerabatan dengan nasab tidak boleh dijual dan tidak
boleh dihibahkan”.24
Hadis
tersebut diterima dari Nabi oleh Ibnu Umar, dan dari Ibnu Umar hanya Abdullah
ibn Dinar saja yang meriwayatkannya, sedang Abdullah ibn Dinar adalah seorang
tabi’in yang hafidz, kuat ingatannya dan dapat dipercaya.
Sedangkan dikatakan sebagai gharib nisbi apabila penyendirian itu mengenai sifat-sifat atau
keadaan tertentu seorang rowi, maka hadis yang diriwayatkannya disebut dengan
hadis gharib nisbi. Penyendirian rawi seperti ini, bisa terjadi berkaitan
dengan keadilan dan kedhabitan perawi, atau mengenai tempat tinggal atau kota
tertentu.25
Contoh
dari hadits ini adalah:
عليه وسلم أن تقرأ بفا تحة الكتاب وما
تيسر منه
الله صلى الله أمرنا رسول
“Rasulullah
memerintahkan kepada kami agar kami membaca surat al-fatihah dan surat yang
mudah dari al-Qur’an”26
Hadits
gharib dinamakan juga hadits fard,
baik menurut bahasa maupun istilah. Namun dari segi penggunaannya, kedua jenis
hadits tersebut dapat dibedakan. Pada umumnya istilah fard diterapkan untuk gharib mutlak, sedang gharib diterapkan untuk gharib nisbi.27 Dari segi kata
kerjanya, para muhaditsin tidak membedakan.
Hadits
gharib ini ada yang shahih, hasan, dan dhaif tergantung pada kesesuaiannya
dengan kriteria shahih, hasan, atau dhaifnya.
3. Nilai dan Fungsi Hadits Ahad
Jumhur Ulama sepakat
bahwa beramal dengan hadits ahad yang telah memenuhi ketentuan maqbul hukumnya
wajib. Abu Hanifah, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad memakai hadits ahad bila
syarat-syarat periwayatan yang shahih terpenuhi.28 Hanya saja Abu
Hanifah menetapkan syarat tsiqqah dan
adil bagi perawinya, serta amaliahnya
tidak menyalahi hadits yang diriwayatkan.
Oleh karna itu, hadits
yang menerangkan proses pencucian sesuatu yang terkena jilatan anjing dengan
tujuh kali basuhan yang salah satunya dicampur dengan debu yang suci tidak
digunakan, sebab perawinya yakni Abu Hurairoh tidak mengamalkannya. Sedang Imam
Malik menetapkan persyaratan bahwa perawi hadits ahad tidak menyalahi amalan
ahli madinah.
Sedangkan golongan Qadiriyah, Rafidhah,
dan sebagian Ahli Zhahir menetapkan bahwa beramal dengan dasar hadits ahad
hukumnya tidak wajib. Al-Jubai dari golongan Mu’tazilah menetapkan tidak wajib
beramal kecuali berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh dua orang yang
diterima dari dua orang. Sementara yang lain mengatakan tidak wajib beramal
kecuali hadits yang diriwayatkan oleh empat orang dan diriwayatkan oleh empat
orang pula.29
Untuk menjawab golongan
yang tidak memakai hadits ahad sebagai dasar beramal, Ibnu Qayim mengatakan:
“Ada tiga segi keterkaitan sunnah dengan Qur’an. Pertama, kesesuaian terhadap ketentuan-ketentuan yang terdapat
dalam Al-Qur’an. Kedua, menjelaskan
maksud al-Qur’an. Ketiga, menetapkan
hukum yang tidak terdapat dalam al-Qur’an.
Alternatif ketiga ini merupakan
ketentuan yang ditetapkan oleh Rasul yang wajib ditaati.30 Lebih dari itu, ada yang menetapkan bahwa
dasar beramal hadits ahad adalah al-Qur’an, Sunnah, dan ijma.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar